setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah
Indonesia langsung membentuk kelengkapan negara melalui sidang PPKI.
Berbagai kelengkapan negara tersebut dibentuk dengan tujuan
menyelenggarakan pemerintahan yang berdaulat. Meskipun demikian,
pemerintah Indonesia belum dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan
baik karena kedatangan Belanda yang ingin menegakkan kembali
kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia
melakukan beberapa kebijakan politik untuk mengatasi masalah tersebut.
Adapun kebijakan politik Indonesia sebagai berikut.
1. Perubahan Fungsi KNIP
Salah satu hasil dari sidang PPKI adalah membentuk Komite Nasional
Indonesia (KNI). Komite Nasional Indonesia dibentuk pada tanggal 22
Agustus 1945. Komite Nasional Indonesia di tingkat pusat disebut Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sedangkan di tingkat kewedanan disebut
Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). KNIP dibentuk denga tujuan
membantu tugas presiden dalam menjalankan pemerintahan hingga
terbentuknya MPR dan DPR.
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan fungsi KNIP terkait hubungannya
dengan lembaga kepresidenan. Perubahan tersebut didasari ketidakpuasan
Sutan Sjahrir terhadap sistem kabinet presidensial. Oleh karena itu,
pada tanggal 7 Oktober 1945 Sutan Sjahrir, Amir Syarifuddin, Supeno,
Sukarni, Ir. Sakirman, dan Manunsarkoro mengajukan petisi kepada
Soekarno-Hatta. Isi petisi tersebut antara lain tuntutan pemberian
status Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada KNIP. Sebagai tindak lanjut
dari petisi tersebut KNIP mengadakan rapat pleno pada tanggal 16
Oktober 1945.
Soekarno dan Hatta menyetujui petisi tersebut karena sesuai dengan
prinsip pengembangan lembaga-lembaga negara yang demokratis. Akhirnya,
Wakil Presiden Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat Nomor X Tahun 1945 yang
isinya sebagai berikut.
a. Komite Nasional Indonesia Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan
ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebelum terbentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
b. Pekerjaan sehari-hari Komite Nasional Indonesia Pusat dijalankan oleh
sebuah badan pekerja yang dipilih dan bertanggung jawab kepada Komite
Nasional Indonesia Pusat.
Sebagai tindak lanjut dari keluarnya Maklumat X Tahun 1945, KNIP kembali
mengadakan sidang pada tanggal 17 Oktober 1945. Dalam sidang tersebut
dihasilkan keputusan mengenai pembentukan Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP)
yang dipimpin oleh Sultan Sjahrir. BP-KNIP beranggotakan lima belas
orang yang bertugas melakukan tugas sehari-hari KNIP.
2. Mengubah Sistem Pemerintahan
Pada awal kemerdekaan pemerintah Indonesia menerapkan sistem pemerintah
presidensial. Presiden Soekarno melalui sidang PPKI membentuk
kementerian dan menteri-menteri yang duduk dalam kabinetnya. Seiring
keluarnya Maklumat X Tahun 1945, sistem pemerintah Indonesia bergeser ke
sistem parlementer. Selain itu, KNIP menjadi lembaga yang sangat
representatif dalam menampung aspirasi rakyat. Selanjutnya, pada tanggal
14 November 1945 dibentuk kabinet parlementer di bawah pimpinan Perdana
Menteri Sultan Sjahrir. Dengan demikian, presiden hanya bertindak
sebagai kepala negara. Sementara itu, pemerintahan dijalankan oleh
perdana menteri.
3. Membentuk Partai Politik
Pada awal kemerdekaan Soekarno mengajukan usulan mengenai pembentukan
Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai satu-satunya partai di
Indonesia. Pembentukan PNI sebagai wadah untuk memperkuat persatuan
bangsa. Presiden Soekarno juga menyatakan bahwa PNI akan menjadi motor
perjuangan rakyat dalam segala urusan. Meskipun demikian, pembentukan
PNI sebagai partai negara ini mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.
Penolakan pembentukan PNI disebabkan oleh berbagai masalah. PNI dianggap sangat "berbau" Jawa Hokokai
sebab sebagian besar anggotanya adalah orang-orang yang dahulu duduk
dalam organisasi buatan Jepang. Selain itu, PNI tidak mewakili segenap
golongan dalam masyarakat. Sutan Sjahrir bahkan menanggap pembentukan
PNI sebagai partai tunggal identik dengan partai Nazi di Jerman dan
partai Fasis di Italia. Ia juga menganggap bahwa pembentukan PNI
bertentangan dengan paham demokrasi yang diterapkan di Indonesia.
Usulan pembentukan PNI sebagai partai tunggal akhirnya dibatalkan.
Selanjutnya BP-KNIP mengajukan usulan agar pemerintah memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai politik.
Usulan tersebut ditanggapi pemerintah dengan mengeluarkan Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945. Maklumat yang ditandatangani Wakil
Presiden Moh. Hatta ini berisi ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
a. Pemerintah memberi kesempatan kepada rakyat untuk membentuk
partai-partai politik. Pemerintah berharap partai-partai politik
tersebut mampu menyatukan seluruh aliran dalam masyarakat ke jalan yang
teratur.
b. Pemerintah berharap agat partai-partai politik telah tersusun sebelum
pelaksanaan pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat pada bulan
Januari 1946.
Adapun partai-partai yang terbentuk setelah Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945 adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis,
Partai Buruh Indonesia (PBI), Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI),
Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Persatuan Indonesia Raya
(PIR).
4. Perpindahan Ibu Kota Negara
Jakarta secara resmi menjadi pusat pemerintahan Indonesia setelah
kemerdekaan. Dalam perkembangannya, kedatangan sekutu di Jakarta membuat
kondisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia menjadi kurang
kondusif. Selain itu, kedatangan sekutu dan NICA mengancam keselamatan
para pemimpin Indonesia. Presiden Soekarno berpindah-pindah tempat
karena diburu oleh pasukan intel Belanda.
Menyadari kondisi tersebut, para pemimpin Indonesia mencari cara untuk
menyelamatkan pemerintahan Indonesia. Tan Malaka mengusulkan agar
pemerintahan Indonesia untuk sementara waktu dipindah ke luar Jakarta.
Moh. Hatta mengusulkan Yogyakarta sebagai tempat berlindung bagi
pemerintahan Indonesia. Yogyakarta dipilih karena kedudukan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX sebagai Raja Yogyakarta yang mendukung pemerintahan
Indonesia. Selain itu, rakyat Yogyakarta dapat dikendalikan secara penuh
oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Pada tanggal 2 Januari 1946 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirim
kurirnya ke Jakarta untuk menyatakan kesediaannya menerima pemimpin
Republik Indonesia di Yogyakarta. Selanjutnya, pada tanggal 4 Januari
1946 Soekarno-Hatta beserta pemimpin Republik Indonesia lainnya hijrah
ke Yogyakarta. Sejak saat itulah ibu kota Indonesia secara resmi
bepindah ke Yogyakarta.
tugas
bagai mana pendapatmu kondisi indonesia dahulu dengan sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar