
Mengapa peringatan ini dilaksanakan?
Ki Hajar Dewantara menjawab hal tersebut, dengan mengatakan:
“Itulah sebenarnja maksud dan tudjuan Bung Karno,
ketika ia mengandjurkan supaja hari 20 Mei tahun 1948 dirajakan setjara
besar-besaran. Hari itu olehnja dianggap sebagai
hari bangunnja rakjat,
hari sadarnja serta bangkitnja
rasa kebangsaan Indonesia, pada tahun 1908, empat puluh tahun sebelum itu
adjakan Bung Karno tadi terbukti sangat ditaati oleh semua golongan rakjat.
Mulai golongan-golongan jang berada di luar gerakan politik, sampai dengan
partai, mulai jang paling kanan sampai jang paling kiri, ikut serta secara
aktif, dan bersama-sama merajakan
hari 20 Mei tahun itu sebagai “Hari Kebangkitan
Nasional”, sebagai Hari Kesatuan Rakjat Indonesia”. (C.S.T. Kansil dan Julianto, 1998).
Jadi, makna
peringatan Kebangkitan Nasional sebagaimana dimaksud Bung Karno di atas, adalah
untuk memperkuat kesatuan bangsa, khususnya dalam menghadapi Belanda yang hendak menjajah
kembali Indonesia. Apalagi di awal tahun itu muncul pula
kelompok dengan garis perjuangan ideologi yang dapat menghancurkan integrasi
bangsa dan ideologi negara Indonesia.
Apalagi pada 1948, Muso baru kembali
dari Moskwa dengan menawarkan doktrin “Jalan Baru” sebagai strategi perjuangan
bangsa yang berbeda dari strategi yang dijalankan pemerintah Soekarno-Hatta.
Ada tiga gagasan yang dikemukakan Muso. Petama, membentuk Front Nasional untuk
menghimpun kekuatan komunis dan
nonkomunis di bawah
pimpinan PKI. Kedua,
mengubah PKI menjadi partai tunggal Marxis-Leninis, dan yang ketiga,
menyesuaikan perjuangan PKI dengan
garis perjuangan Komunis
Internasional (Komintern).
Hal ini membuat hubungan antara
antara PKI dengan
kubu nasionalis (PNI
dan Masyumi) kian meruncing.
Pertikaian ideologi yang tajam tersebut berakhir pada pecahnya pemberontakan
PKI di Madiun pada 18 September 1948.
Sebagai konsekuensi disepakatinya hasil perundingan
Renville, sebanyak
35.000 anggota TNI juga dipaksa untuk
meninggalkan wilayah yang diklaim Belanda menuju daerah Republik Indonesia yang
beribu kota di Yogyakarta. Tiga bulan setelahnya, Belanda melancarkan agresi
militer dengan menduduki Ibu kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Presiden
dan wakil presiden serta beberapa pejabat tinggi negara ditangkap dan
diasingkan ke Bangka. Meski demikian presiden
masih sempat memberikan mandat kepada Syafrudin

Namun demikian Panglima Besar Soedirman sekeluarnya dari Yogyakarta,
langsung memimpin pasukannya untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda dengan
melakukan perang gerilya.
Sementara Kolonel A.H. Nasution,
selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa meneruskan rencana
pertahanan rakyat yang yang telah disusun oleh Panglima Besar Sudirman,
dan dikenal sebagai Perintah Siasat Nomor 1. Salah satu pokoknya adalah
menyusupkan pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal ke garis
belakang musuh dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga
seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang
luas.
Dapat pula
dikemukakan peran Sultan Hamengku Buwono IX
yang telah memberikan dukungan fasilitas dan finansial untuk
keberlangsungan berjalannya pemerintahan republik yang ditinggalkan para
pemimpinnya tersebut. Menurut Kahin,
dua kekuatan inilah
yang menjadi sumber
perlawanan terhadap Belanda yang pada akhirnya memaksa Belanda untuk
mengakhiri perang menuju Konferensi Meja Bundar (KMB).
Kedua kekuatan
yang digerakan oleh unsur sipil dan tentara yang melakukan gerilya
menjadi amunisi yang ampuh bagi para diplomat
kita yang terus berunding di forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Dengan strategi perjuangan
tersebut di atas dengan mendapat tekanan Internasional dan
dari Amerika Serikat sendiri yang mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan, maka Belanda terpaksa
menandatangani perjanjian KMB yang
berisi “penyerahan kedaulatan” (souvereniteit overdracht).
Situasi dan
kondisi perjuangan sebagaimana digambarkan di atas itulah yang menjadi makna
nilai persatuan dari peringatan kebangkitan nasional ke-40 di tahun 1948, yang
menggerakkan perjuangan bangsa Indonesia yang pantang menyerah dan pada
akhirnya dapat mengakhiri upaya Belanda untuk kembali menjajah.
Ancaman
disintegrasi (perpecahan) bangsa memang bukan persoalan main-main. Tak hanya
merupakan masalah di masa lalu. Potensi disintegrasi pada masa kinipun bukan
tidak mungkin terjadi. Karena itulah kita harus terus dan selalu memahami
betapa berbahayanya proses disintegrasi bangsa apabila terjadi bagi kebangsaan
kita. Sejarah Indonesia telah menunjukkan hal tersebut.
Tugas
Buatlah sebuah pernyataan tentang kondisi Indonesia dulu dengan Indonesia terkini
Sejarah Indonesia 3